Skip to main content

Ujian Pertama di Bulan Puasa

Siang pertama di bulan puasa bukanlah penyebab bintik-bintik keringat yang mulai bermunculan di kening para mahasiswa. Penyebabnya adalah ujian lisan mata kuliah Psikologi Pendidikan, dan wajah Bu Esti, dosen penguji, yang dalam sekejap bisa mengubah bintik keringat itu menjadi tetesan. 
Satu julukan untuk Bu Esti: Dosen Tanpa Ampun Terlalu lurus, terlalu disiplin, terlalu kaku. Wajahnya datar nyaris tanpa ekspresi Tapi sorot matanya bisa melunturkan keberanian sebelum satu kata pun terucap. Beberapa mahasiswa 
yang mendapat giliran sehari sebelumnya dikabarkan kehilangan suara, bahkan ada yang keluar dengan mata merah mau menangis.
Di depan ruang sidang, sebuah lorong panjang menjadi tempat para mahasiswa menunggu giliran. Suasana hening, kecuali beberapa bisik- bisik panik dan buku catatan yang dibolak-balik tanpa benar-benar dibaca. 
Pintu ruang sidang terbuka. Asisten Bu Esti muncul, menyampaikan pesan bahwa siapa pun yang siap, dipersilakan maju lebih dulu. 
Tak ada yang bergerak. Lalu, suara gaduh pecah. Bukan karena berebut giliran pertama justru karena semua ingin jadi yang terakhir. 
Kecuali Agus, la menarik napas dalam seakan ada sesuatu yang lebih mendesak daripada soal kesiapan dan ketakutan pada penguji. 
Agus melangkah masuk. Pintu di belakangnya tertutup, suara di luar menghilang. Ruangan ini sunyi, tapi bukan sunyi yang nyaman tapi menekan. 
Agus paham, dalam ujian lisan Bu Esti, hafal banyak teori tak akan membantu. Jawaban panjang tak akan menyelamatkan. Bu Esti hanya menginginkan satu hal: paham. Jika ada yang berlindung di balik teori yang dikuasai setengah- setengah, Bu Esti hanya butuh satu pertanyaan tambahan yang bisa membuat tidak lulus dan mengulang semester mendatang 
Agus tahu, jika saja keadaan dirinya sama seperti mahasiswa lain, ia pasti akan gentar juga. Tapi di luar kampus, ada urusan yang baginya lebih mendesak, sesuatu yang tak memberinya waktu untuk ragu atau takut. Apapun kondisinya, ia harus langsung menghadapi. Tak ada kemewahan untuk merasa gentar walau sebentar. 
Melihat Agus masuk, Bu Esti melirik sekilas lalu melepaskan kacamatanya. Gerakan kecil tapi cukup untuk membuat udara di ruangan terasa lebih berat. Beberapa detik ia hanya memandangi Agus seperti sedang mempertimbangkan pertanyaan ujian pertama. 
"Apa kabar, Gus? Sudah lama aku tak melihatmu di perpustakaan." 
Agus tertegun. la datang dengan persiapan menghadapi pertanyaan sulit, atau teori kompleks yang bisa menjatuhkannya dalam hitungan detik justru mendapat sapaan yang terdengar personal. 
Agus memang sering di perpustakaan. Baginya, tak ada tempat lebih nyaman selain itu. Bukan karena ia seorang kutu buku, bukan pula karena ambisi akademik yang tinggi. Awalnya, ia ke perpustakaan bukan karena gila membaca, tapi karena butuh tempat untuk menyalurkan sesuatu yang lebih dalam. 
Setiap kali duduk di antara rak-rak penuh buku, pikirannya selalu kembali ke rumah. Ke desa. Ke seorang perempuan yang menunggunya di sana: istrinya, seorang guru sekolah dasar golongan rendah, dengan gaji yang tak seberapa, tapi masih disisihkan untuk membantu biaya kuliahnya 
Tidak ada yang tahu ini. Teman-temannya hanya melihat Agus sebagai mahasiswa yang tekun, selalu hadir di perpustakaan. Tapi bagi Agus, setiap buku yang ia baca adalah caranya membayar janji. Setiap halaman yang ia lahap adalah caranya menyalurkan rindu, menyalurkan rasa terima kasih. 
Setiap kali duduk di antara rak-rak penuh buku, pikirannya selalu kembali ke rumah. Ke desa. Ke seorang perempuan yang menunggunya di sana: istrinya, seorang guru sekolah dasar golongan rendah, dengan gaji yang tak seberapa, tapi masih disisihkan untuk membantu biaya kuliahnya.
Tidak ada yang tahu ini. Teman-temannya hanya melihat Agus sebagai mahasiswa yang tekun, selalu hadir di perpustakaan. Tapi bagi Agus, setiap buku yang ia baca adalah caranya membayar janji. Setiap halaman yang ia lahap adalah caranya menyalurkan rindu, menyalurkan rasa terima kasih. 
"Bukunya sudah habis kamu baca semua, atau sudah jenuh?" Nada suara Bu Esti masih datar tapi terdengar seperti perhatian seorang guru pada murid yang kedapatan mencintai buku. Dan guru seperti itu pantas mendapatkan jawaban yang jujur. 
Tidak, ia belum membaca semua buku di perpustakaan. Tidak, ia juga tidak jenuh. Tapi ada hal lain yang membuatnya jarang ke sana belakangan ini 
Agus menarik napas, lalu menjawab dengan jujur. "Sudah beberapa bulan ini saya punya pekerjaan, Bu." 
Bu Esti mengangkat alis, mendengarkan 
"Saya harus bekerja supaya bisa menyelesaikan biaya kuliah. Jadi sekarang, buku-buku itu saya pinjam dan saya baca di tempat kerja." 
Sekilas, ada sesuatu yang berubah di wajah Bu Esti. Bukan keterkejutan, bukan juga simpati berlebihan, tapi kelegaan. la tidak banyak bereaksi, tapi tatapannya cukup untuk memberi tahu bahwa ia senang mendengar Agus tetap membaca, meski waktunya tak lagi sebanyak dulu. 
"Kamu kerja di mana?" tanyanya, kali ini lebih pelan. 
"Jadi kernet truk pengangkut garam, Bu. Sekalian mencatat administrasi pengiriman." 
Bu Esti terdiam sesaat seakan sedang membayangkan sendiri bagaimana seorang mahasiswa yang dulu hampir setiap hari duduk di perpustakaan, kini menghabiskan waktunya di jalanan, di tengah panas, di antara karung- karung garam 
Bagaimana cara Agus membaca? Duduk di kabin truk, sambil menghafal teori psikologi di antara suara mesin dan debu jalanan? Atau di bak truk, dengan buku terbuka di pangkuan, sementara di sekelilingnya hanya tumpukan garam? Atau mungkin, di gudang, 
menyelinap di sela-sela karung, membaca sekadarnya sebelum kembali mencatat angka- angka pengiriman? 
Sekali lagi, Bu Esti menatap Agus. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di matanya. Sesuatu yang tidak dimengerti oleh mahasiswa lain yang duduk di luar sana, menunggu giliran ujian. 
Kini Bu Esti paham sepenuhnya kenapa Agus tidak seperti mahasiswa lain yang berebut giliran terakhir. Bukan karena ia lebih siap atau lebih berani. Tapi karena ia tak punya pilihan lain. 
"Jadi, ini alasan kenapa kamu memilih ujian pertama? Karena ingin cepat-cepat ke tempat kerja?" Nada suaranya masih datar, tapi kali ini terdengar lebih... lunak. 
Agus menelan ludah. Antara sungkan dan malu, ia mengangguk pelan. "Iya, Bu. Sebentar lagi saya harus mengirim garam ke Cirebon." 
Ada jeda sejenak. la bisa merasakan tatapan Bu Esti yang masih tertuju padanya. Bukan tatapan yang menekan, tapi yang menunggu sesuatu. 
"Saya berharap masih ada sisa waktu untuk mampir ke rumah saya di desa, Bu. Hari ini anak saya latihan puasa pertama." Suaranya sedikit melembut. "Saya ingin menemani berbuka sekaligus membawakan sedikit oleh-oleh untuknya." 
Sesederhana itu. Seorang ayah yang ingin pulang. Bukan untuk istirahat, bukan untuk diri sendiri, tapi untuk momen kecil yang mungkin tak berarti bagi dunia, tapi berharga bagi seorang anak di Pemalang 
Bu Esti kembali menatap Agus, seakan melihatnya untuk pertama kali bukan sebagai mahasiswa yang duduk di kursi ujian, tapi sebagai seorang manusia yang telah melewati ujian hidup yang lebih nyata dari sekadar teori. 
Di dalam catatannya, masih ada daftar pertanyaan yang belum satu pun diajukan Tapi pertanyaan terbesar justru muncul dalam benaknya sendiri: Masih perlukah ujian untuk seseorang yang sudah membuktikan dirinya? Seseorang yang jujur, pekerja keras, pecinta buku, dan penyayang keluarga? 
Apa lagi yang bisa dia uji dari seorang pria yang berjuang di antara rak perpustakaan dan jalanan berdebu? Apa lagi yang bisa dia nilai dari seorang ayah yang menjadikan ilmu sebagai bentuk terima kasih pada keluarga yang mendukungnya? Apa lagi yang bisa dia koreksi dari seorang lelaki yang memilih pulang untuk menemani anaknya berbuka puasa pertama kali? 
Bu Esti melirik jam tangannya. Bukan karena ingin mengakhiri ujian, tapi karena, untuk pertama kalinya dalam ruangan ini, ia sendiri yang khawatir seseorang akan terlambat. Terlambat berangkat kerja. Terlambat sampai di rumah. Terlambat melihat anaknya berbuka untuk pertama kali. 
Lalu, ia menutup catatan di mejanya 
"Agus, kamu lulus." 
Agus mengerutkan kening, seolah belum benar- benar memahami. la bahkan belum ditanya teori apa pun. 
"Tapi, Bu, saya belum..." 
"Sudah cukup." Bu Esti menyela. "Cepat pergi. Anakmu pasti sudah menunggu." 
Agus masih terdiam, seakan mencerna maksud Bu Esti. Tapi Bu Esti justru menggerakkan tangannya, memberi isyarat keluar. Agus pun bangkit, membungkuk dalam-dalam, lalu bergegas menuju pintu 
Begitu pintu tertutup, ruangan itu kembali sunyi. Hanya Bu Esti dan kesadarannya bahwa hari ini, ia telah menyalahi prosedur 
la menghela napas pelan, lalu mengambil selembar tisu. Dengan gerakan cepat, ia menyeka sudut matanya. Bukan karena penyesalan. Bukan karena ragu. 
Tapi karena ini kesalahan paling benar yang pernah ia lakukan. 
Bu Esti tahu, mungkin ia tak lulus sebagai penguji. Tapi hari ini, ia hanya ingin lulus sebagai manusia. 
*水* 
Cerita sederhana yang kubaca di Threads, diposting oleh M Dedy Vansophi, 1 Maret 2025

Comments

Popular posts from this blog

Ten Thousand Lifetime

I will search for you through a Thousand Worlds and Ten Thousands of a Lifetime . Until I find you 47 ronin

Doa untuk Putraku (Anakayah DANIS)

  Tuhanku... Bentuklah putraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengetahui kelemahannya. Dan, berani menghadapi dirinya sendiri saat dalam ketakutan Manusia yang bangga dan tabah dalam kekalahan Tetap Jujur dan Rendah Hati dalam kemenangan Bentuklah putraku menjadi manusia yang berhasrat mewujudkan cita- citanya dan tidak hanya tenggelam dalam angan-angannya saja Seorang putra yang sadar bahwa mengenal Engkau dan dirinya sendiri adalah landasan segala ilmu pengetahuan Tuhanku... Aku mohon, janganlah pimpin putraku di jalan yang mudah dan lunak. Namun, tuntunlah dia di jalan yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan dan tantangan Biarkan putraku belajar untuk tetap berdiri di tengah badai dan senantiasa belajar untuk mengasihi mereka yang tidak berdaya Ajarilah dia berhati tulus dan bercita-cita tinggi, sanggup memimpin dirinya sendiri, sebelum mempunyai kesempatan untuk memimpin orang lain Berikanlah hamba seorang putra yang mengerti makna tawa ceria tan...

Menata Cinta

"Setiap hari, cinta harus ditumbuhkan dengan berbagai cara. Cinta harus tumbuh menembus semua rintangan. Kuncup-kuncupnya tak boleh merekah semua seketika, untuk kemudian layu. Ranting dan pokoknya harus kuat menjulang. Cinta harus ditumbuhkan sepanjang usia dengan bunga-bunganya yang bertaburan di sepanjang jalan kesetiaan. Jalan yang ditapaki dengan riang di bumi dan semoga kelak mempertemukan kita kembali dengannya di surga" ~Helvy Tiana Rosa~