Skip to main content

Maukah Kamu Menua Bersamaku?


Maukah Kamu Menua Bersamaku?

Aku menanti saat kamu datang ke rumahku, mengetuk pintu, dan membicarakan tentang kita. Berbincang dengan orang tuaku agar mereka memberi restu atas perasaanmu. Aku belum terlalu mengenalmu, tapi ketahuilah, kamu terlihat sangat gagah saat berusaha menghalalkan rasa itu. Dan dengan pasti, aku menjawab lamaranmu berisyarat anggukan malu.

Aku menanti saat kamu duduk di sebelahku, mengucap ijab kabul yang diiringi tangisan bahagiaku.
Menyematkan cincin di jari manisku. Dan kita resmi menjadi satu.
Aku menanti saat terbangun dan kutemukan kamu di sampingku. Kemudian, aku menuju dapur dan menyiapkan sarapan untuk kita.

Aku menanti saat kita semakin menyatu, dalam buaian canda, rasa, dan gelora. Hingga aku tak malu lagi untuk memanggilmu “Mas,” dan kau tak ragu menyapaku “Dinda,”.
Aku menanti saat perutku membesar, menjadikanku tak cantik di mata manusia lainnya. Tapi kita berbahagia, karena inilah buah cinta bukti cinta kita.

Aku menanti saat aku mulai sulit bernapas, rasanya sakit sekali. Kamu di sampingku dan menggenggam tanganku seraya berucap, “Ayo Dinda, buah cinta kita sebentar lagi akan menemani kita”. Dan tangisan bayi kita kemudian terdengar.

Aku menanti saat anak pertama kita bertatih-tatih berjalan ke arah kita, memanggil kita dengan sebutan “Pa” dan “Ma”. Sungguh, kalianlah keluarga kecilku yang kucinta.

Dan aku menanti. Menanti saat anak-anak kita beranjak dewasa, sementara kita semakin menua. Tubuh kita yang semakin renta berbanding terbalik dengan cinta kita yang semakin tertata.

Tapi, tunggu dulu, aku ingin bertanya sebelum segala penantian itu. Maukah kamu menua bersamaku? Menghabiskan sisa hidupmu untuk berjuang bersamaku. Membagi kisah dan kelu dalam rumah tangga kita.


Memimpin doa-doa agar Tuhan sediakan rumah untuk kita di Surga sana. Menerimaku sepenuh hati, kelebihan dan keterbatasanku. Saling membuang ego dan berkomitmen setia untuk selamanya. Karena saat-saat yang kunanti takkan terwujud jika kau tak mau. Dan takkan ada kata “kita” bila kau tak datang. Sekali saja, bisikan jawabanmu padaku, bahwa kamu mau menua bersamaku.

Comments

Popular posts from this blog

Ten Thousand Lifetime

I will search for you through a Thousand Worlds and Ten Thousands of a Lifetime . Until I find you 47 ronin

Aku Ingin Melukis Rumah Untukmu, Anakku

Aku Ingin Melukis Rumah Untukmu, Anakku Sedang duduk kita di beranda Tangan-tangan kecilmu dan terang bola matamu Adakah bedanya Dengan gambar kecilku dulu Waktu kulukis rumah Tanpa pintu tanpa jendela Dan langit kelabu diatasnya Ingin kuhapus masa lalu Hari-hari terisak yang sukar engkau mengerti Sekarang dibelakangmu aku berdiri Sudahkah benar aku menjadi ayah Setelah memberimu beberapa Sesuatu yang tidak engkau pinta Namun aku harus melakukannya Selagi kental tinta kasih sayang kita Mungkin belum pudar persahabatan, kejujuran, Dan semua saja yang pernah kita bangun Menuliskan garis dan warna menawan Ingin aku melukis lagi sebuah rumah untukmu Dengan awan putih diatasnya Sebuah rumah yang terang Berpintu dan berjendela Agar bebas mengalir lalu lalang Bendera nurani kita 1995 Handrawan Nadesul