"Kediamanmu akan
menjadi tempat tinggal jika membuat Anda dan jiwa yang tinggal di dalamnya
merasa tentram. "
-- Phillip Moffitt,
penulis dan pendiri Life Balance Institute, tinggal di Amerika
INI satu kisah tentang sembilan bersaudara yang telah
berhasil dalam meraih karir dan cita-cita yang diimpikan. Dari kesembilan
bersaudara tersebut, hanya seseorang yang memiliki rumah sangat sederhana.
Delapan bersaudara yang lain, rumahnya tergolong mewah dan lapang. Bahkan
berlantai dua. Lantas, ada apa dengan rumah sederhana itu?
Rumah itu tak luas. Tergolong rumah mungil dengan
nama generik: tipe 36. Namun kok anehnya, orang yang tinggal di sana selalu
berwajah ceria, senang, dan hampir tak ada cekcok.
Tidak hanya itu. Di waktu-waktu tertentu, saat
liburan sekolah tiba, rumah sederhana itu tiba-tiba penuh sesak dengan
anak-anak. Usut punya usut, mereka adalah keponakan si empunya rumah, Pak Joko,
itulah nama pemilik rumah sederhana itu. Mereka datang ke sana, dari berbagai
tempat. Dalam setiap acara dan kegiatan, para saudara dekat dan jauh mereka,
lebih senang memilih dan menginap di rumah tersebut. Bukan semata karena mereka
tak punya uang untuk sekadar menginap di rumah yang sempit itu. Dengar-dengar,
ayah mereka hidup berkecukupan.
Pernah beberapa kali, ketika kakak dan adiknya Pak
Joko mengadakan hajatan dan menyediakan lantai duanya yang lebih lapang dengan
beberapa kamar untuk menginap, mereka malah memilih untuk menginap di rumah Pak
Joko. Mereka pun diantar ke rumah itu dengan mobil yang masih mengilap dan baru
modelnya.
Tapi memang begitulah faktanya. Mereka justeru
lebih senang jika bertandang dan bertamu ke rumah Pak Joko walau rumahnya
tergolong sederhana. Itulah yang dirasakan saudara-saudara Pak Joko. Ya, tapi
kenapa mereka mau berdesakan di sana?
Pakde Joko, begitulah mereka memanggilnya. Pria
berambut keriting dengan kacamata yang selalu nangkring di hidungnya itu punya
cara asoy untuk menjadikan rumahnya selalu membuat betah pengunjungnya.
Pak Joko tak pernah menyuguhkan kemewahan dan
fasilitas layaknya hotel berbintang lima. Keluarga Pak Joko hidup secara
sederhana. Jika tamu-tamu datang, Pak Joko beserta isterinya hanya menyuguhkan
minuman teh dan kopi panas ditambah makanan khas daerah.
Tetapi yang paling penting yang diberikan Pak Joko
kepada tamu-tamunya ialah sikapnya yang justru membentuk rumahnya yang
sederhana menjadi rumah jiwa. Rumah jiwa, rumah yang diisi oleh keramahan,
ketulusan, kesederhanaan, kenyamanan, dan keikhlasan yang ditampilkan oleh Pak
Joko beserta keluarganya.
Keramahan. Itulah yang dilakukan Pak Joko setiap
kali menerima saudara dan tamunya. Pak Joko selalu menyambut dengan penuh
kehangatan. Dengan tawa dan senyum yang tak pernah lepas setiap kali ia
berjumpa dengan orang lain. Pak Joko sendiri memang pandai bergaul kepada
setiap orang. Berbicara dengan penuh canda dan persahabatan kepada setiap orang
tanpa kecuali.
Ketulusan. Pak Joko tak pernah menolak bahkan
mengeluh sedikitpun kepada siapa saja yang bertandang ke rumahnya. Ia tak
pernah membedakan status seseorang yang hadir di rumahnya. Semua ia layani
dengan penuh ketulusan.
Kesederhanaan. Itu jugalah yang ada pada keseharian
Pak Joko. Hidupnya betul-betul sederhana, jauh dari kemewahan. Ia melayani
saudara dan tamunya apa adanya. Pak Joko tak pernah membuat sesuatu menjadi ada
kalau memang tidak ada, atau istilahnya, mengada-ada yang tidak ada. Begitu
juga sebaliknya, Pak Joko tak pernah menyembunyikan yang ada menjadi tidak ada.
Malah, saudaranya yang selalu membawakan oleh-oleh dan panganan ringan untuk
disantap bersama.
Kenyamanan. Setiap orang yang berkunjung ke
rumahnya selalu merasa nyaman. Kalau orang seberang bilang, feel like at home.
Merasakan seperti rumah sendiri.
Dan ini yang paling penting, keikhlasan. Pak Joko
selalu menerima siapa saja yang hadir di rumahnya dengan penuh keikhlasan.
Tanpa pamrih sekalipun.
Dengan kata lain, rumah Pak Joko merupakan pantulan
jiwa Pak Joko sendiri. Memang begitulah sejatinya sebuah konsep rumah. Bukan
dalam pengertian fisik rumah itu sendiri. House is not a home but home is more
than a house. Rumah bukanlah sebuah tempat tinggal biasa, tetapi lebih dari
itu.
Rumah yang baik adalah rumah yang diisi oleh
jiwa-jiwa yang baik. Jiwa-jiwa yang penuh dengan ketenangan. Penuh ketulusan,
keikhlasan, dan memiliki kedamaian. Itulah mengapa ada istilah `rumahku adalah
surgaku'. Atau kalau orang bule bilang, `home sweet home'. Setiap orang yang
merasa harus pergi dari rumah tersebut karena sudah waktunya, akan merasakan
ingin kembali lagi.
Sebuah rumah juga haruslah dapat memberikan unsur
surgawi dan inspiratif bagi pemiliknya. Pribadi-pribadi dalam rumah itulah yang
harus dapat mengekspresikannya. Menjadikannya sebagai rumah jiwa yang indah.
Bila itu terjadi, sekecil atau sebesar apa pun suatu rumah, maka akan
memberikan keteduhan dan ketenteraman bagi para penghuninya.
'A house is a home when it shelters the body and
comforts the soul' atau dapat dikatakan, kediamanmu akan menjadi tempat tinggal
jika membuat Anda dan jiwa yang tinggal di dalamnya merasa tentram.
Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda membangun
rumah jiwa disana?
(201008)
Sumber: Rumah Jiwa oleh Sonny Wibisono, penulis,
tinggal di Jakarta
Comments