Skip to main content

Sejajar Itu Indah

Oleh: Sonny Wibisono *

"Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi."

-- Peribahasa Indonesia


 

PESAN sate, yang datang malah pecel lele. Ngidam bakso, disodori bakwan malang. Halah, aya-aya wae. Praktis selera makanpun hilang. Padahal saat sebelum pergi dia mengingat semua pesanan dengan baik. Namun, apa hendak dikata. Budi tidak seperti biasanya seperti itu. Dia termasuk office boy atau pesuruh di kantor yang paling jempolan. Bukan saja karena dia paling senior, tetapi juga cepat menangkap maksud dari mereka yang member perintah. Lantas, ada kejadian apa dengannya hari ini?

Melihat muka masam dari para pekerja di kantor, dia pun hanya termenung. Murung sekali. Apakah ada seorang dari kami yang mengeluarkan kata yang barangkali dia pun tak menyadari akan menimbulkan dampak bagi Budi. Entahlah. Kami pun berbincang di dapur. Dari mulutnya kemudian terumbar kebimbangan hatinya. Di rumahnya, anaknya sakit dan belum sempat dibawa ke dokter. Gaji yang diterima sudah habis karena sebagian dikirim ke kampung. "Harus mencari biaya tambahan, Pak," ujarnya lirih. Jelas sudah. Itu semua yang membuat kinerjanya menurun drastis.

Persoalan seperti ini tentu saja menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari tiba-tiba berubah tanpa pernah kita tahu sebabnya. Semakin dimarahi, karena tak sesuai dengan harapan, makin buruklah pekerjaannya.

Sejatinya itu tak mesti terjadi bila ada komunikasi yang terbuka diantara keduanya. Antara sopir dengan majikannya. Karyawan dan bosnya. Bahkan antara orangtua dengan anaknya. Komunikasi yang baik dan efektif memang perlu dilakukan, bukan hanya dalam lingkup keluarga, masyarakat, tapi juga dalam lingkungan tempat bekerja. Komunikasi yang baik pula yang dapat menerjang semua kebuntuan. Hanya saja tak semua dari kita dapat melakukan hal itu. Tapi itu tidaklah sulit. Cara yang mudah adalah saat kita mampu mensejajarkan diri dengan orang yang kita hadapi, dengan tanpa melihat status seseorang.

Menurut Cheryl Reimold, seorang ahli mengenai bahasa tubuh mengatakan, "Bila Anda berdiri ketika berbicara dengan orang yang sedang duduk, maka Anda menang tinggi, dan bahkan merasa lebih berkuasa sesaat. Namun, bila Anda menghadapi orang itu dalam kesejajaran, duduk atau berdiri, maka Anda akan lebih berkemungkinan menjalin komunikasi yang baik."

Ini ada cerita menarik tentang kesejajaran. Suatu ketika, Pangeran Albert bertengkar dengan isterinya, Ratu Victoria. Albert mengalah, kemudian menuju kamarnya. Ratu Victoria kemudian menyusulnya dan mendapati pintu terkunci. Ia kemudian mengetuk pintu dengan keras. Dari dalam kamar, Albert bertanya, "Siapa itu?" "Ratu Inggris!" jawab Ratu Victoria. Pintu tetap terkunci. Victoria kemudian mengetuk pintu lagi. Albert pun kembali bertanya, "Siapa itu?" "Ini aku, isterimu." jawab Ratu Inggris. Pintupun kemudian terbuka.

Kesetaraan akan terwujud, saat kita menganggap lawan bicara kita tidak lebih tinggi atau lebih rendah dari kita. Hal ini dilakukan agar komunikasi berjalan dengan efektif. Tak sulit. Tak pula butuh biaya. Dengan kelegaan hati kami memaklumi kesalahan office boy siang itu. Terus terang, tak banyak uang yang keluar untuk membantu beban Budi saat itu. Budi terlihat lebih rileks. Senyumpun mengembang. Saya tahu bukan uang yang masuk ke kantong celananya, namun sikap merasa diperhatikan yang membuatnya merasa dianggap setara. Diwongke, istilahnya. Selanjutnya, langkah Budi pun terlihat lebih ringan.

Begitulah, komunikasi tak hanya efektif, tapi juga terlihat indah, bila kita mampu mensejajarkan diri kita dengan orang lain. Ya, sejajar itu indah.

*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media Komputindo, 2009

Comments

Popular posts from this blog

Ten Thousand Lifetime

I will search for you through a Thousand Worlds and Ten Thousands of a Lifetime . Until I find you 47 ronin

Aku Ingin Melukis Rumah Untukmu, Anakku

Aku Ingin Melukis Rumah Untukmu, Anakku Sedang duduk kita di beranda Tangan-tangan kecilmu dan terang bola matamu Adakah bedanya Dengan gambar kecilku dulu Waktu kulukis rumah Tanpa pintu tanpa jendela Dan langit kelabu diatasnya Ingin kuhapus masa lalu Hari-hari terisak yang sukar engkau mengerti Sekarang dibelakangmu aku berdiri Sudahkah benar aku menjadi ayah Setelah memberimu beberapa Sesuatu yang tidak engkau pinta Namun aku harus melakukannya Selagi kental tinta kasih sayang kita Mungkin belum pudar persahabatan, kejujuran, Dan semua saja yang pernah kita bangun Menuliskan garis dan warna menawan Ingin aku melukis lagi sebuah rumah untukmu Dengan awan putih diatasnya Sebuah rumah yang terang Berpintu dan berjendela Agar bebas mengalir lalu lalang Bendera nurani kita 1995 Handrawan Nadesul